Selasa, 28 Oktober 2014

RINAI

Kita telah masing-masing kehilangan. Lalu dengan segala-gala lupa, pada akhirnya, pelarian terakhir hanyalah membuat sunyi kehidupan. Namun katanya, kau adalah kebalikan dari aku. Membuat segala sunyi menjadi ramah kepadamu. Lalu jadilah kau menertawai kesunyian itu sendiri.

Hanya satu tempat  yang paling akrab denganku. Kamar dengan warnanya yang ungu. Panjang dan luasnya sama; empat meter. Di ujung bagian kanan, ditempatkan sebuah ranjang ungu yang hanya muat untuk satu orang. Di samping kanannya ditaruh sebuah kursi dengan cat berwarna ungu yang berhadapan dengan satu cermin besar; akan kelihatan seluruh tubuh di dalamnya. Mulai dari kepala hingga ke kaki.

Aku iri terhadapmu. Terlalu iri. Sungguh. Kapankah kau mau mengajakku ke tempatmu? Akh, aku malu menanyakannya langsung. Bukan hanya malu, tapi juga rindu. Rindu melihat matamu mempelototi mataku. Dan… dan… dan kita jatuh  cinta lagi. Lalu anak-anak kita akan menjadi terlantar. Lalu mereka menjadi harus ke sekolah tanpa ada yang mengantar. Lalu di jalan mereka berpegangan tangan. Lalu datang sebuah truk berkecepatan tinggi. Lalu mereka terlindas. Akh, aku tak mau nasib mereka seperti itu lagi.

Aku merasa begitu bersalah karena meragukan perihal ucapanmu tempo hari.

“Kenapa kau begitu tergila-gila pada ungu?” tanyaku waktu itu.

“Aku merasa damai saja bila melihatnya. Kau tak suka?” kau bertanya balik.

“Tenang! Aku lelaki yang tak begitu fanatik terhadap warna,”
Kau tersenyum manja.

“Berarti kau tak keberatan bila suatu saat rumah kita telah jadi, lalu kamar tidur kuminta diwarnai ungu?”

“Tidak apa-apa. Yang kau suka, berarti aku suka,”

“Aku tak mau egois. Ungu hanya mewakili aku,” kamu mencoba bersikap adil.

“Sudah kubilang kan tidak apa-apa,” ucapku lagi. “Hmm...! Baiklah!” aku mencoba berpikir sejenak. “Bagaimana kalau biru? Tapi kau tak keberatan kan?”

“Kenapa kau bilang seperti itu?” tanyamu.

“Tidak. Aku hanya tak ingin kau merasa terpaksa mengubahnya,”

“Kau tahu kan kalau aku belum pernah sekalipun merasa dipaksa olehmu. Tenanglah. Semuanya akan baik-baik saja,” lagi- lagi kau tersenyum. “Tapi kalau suatu saat berwarna ungu?” kau menatapi mataku

“Tidak akan..!” jawabku.

“Itu pasti!”

“Maksudmu?”

“Pasti menjadi ungu,”

“Bagaimana kau bisa menebaknya?”

“Aku tak menebak,”

“Lalu apa namanya?”

“Memastikan,”

“Tapi, kau bukan Tuhan..!”

“Ya. Tapi untuk hal yang satu ini, aku bisa memastikannya.”
Aku tak mau meladenimu berdebat lagi. Aku tahu, setiap saat kaulah pemenangnya. Kau menertawaiku lalu aku pun akhirnya ikut tertawa.

Sungguh! Tak ada yang lebih damai selain berada di sisimu. Hal yang satu ini, pasti kau pun sudah memastikannya begitu. Mungkin itulah yang membuat kita menjadi dianugerahi sesuatu yang mereka menyebutnya cinta. Hmm..! itu sudah lama sekali. Jauh sebelum kita kita berijab kabul. Jauh sebelum kita membicarakan tentang warna kamar.

“Boleh kuminta kau berjanji satu hal? Satu hal saja,” ujarmu saat malam pertama kita.

“Apapun. Apapun itu,”

“Aku hanya meminta kau tetap tegar dan tidak terkejut, jika suatu saat nanti, kamar kita benar-benar menjadi ungu.”

“Kau masih ingat percakapan kita itu?” aku menanggapimu tersenyum. Seolah tengah bercanda.

“Aku tak bercanda. Sudah kubilang kan aku telah memastikannya?” kau menatapiku serius.

“Sudah kubilang juga kan, apapun yang kau minta akan kuturuti. Apapun.” kau tersenyum mendengarku berkata begitu.

Sayangku, aku minta maaf kepadamu. Sungguh. Aku lelaki yang tidak bisa menepati janji. Sekarang kamar kita telah benar-benar menjadi ungu. Malam-malam sebelumnya, kamar ini masih biru. Namun beberapa malam yang lalu, sejak kau tak pernah lagi pulang ke sini, entah dari mana, merah membanjiri tempat ini. Ia tumpah dari plafon-plafon. Keluar dari dinding-dinding. Juga muncrat dari sela-sela ubin. Anehnya, tak ada yang berubah kotor. Malah wangi. Hanya saja harus kurelakan seisi kamar berubah warna menjadi ungu. Tapi, aku tidak bisa tetap tegar dan tidak terkejut.

Sayang, warna ini sungguh membuat rindu makin pilu.